Aku hanya berani gila merinduimu di belakang. Dari sini. Dari kejauhan. Licik kan? Memang.
Meski aku sendiri tak yakin dengan kata-kataku untuk meminta jarak dan menjeda komunikasi kita, karena ya sekali lagi, rindu ini selalu bermuara padamu, Tuan.
Aku selalu membiarkan pikiranku berlari-lari padahal aku sudah sangat kelelahan. Aku biarkan dirimu bebas berlari kesana kemari hanya dalam pikiran saja. Karena jika aku lepaskan pada dunia nyata, mungkin ceritanya tak akan seindah imajinasiku. Aku membahagiakan diriku sendiri dengan syair-syair cinta yang aku ramu.
Aku selalu diingatkan mereka, kawan-kawanku, agar selalu yakin untuk mempertahankanmu. Mereka sebegitu percayanya bahwa kamu yang paling baik untukku. Bahwa nanti kamu akan datang ke rumahku dan menemui orang tuaku. Bahwa aku hanya perlu lebih bersabar menunggumu untuk memintaku. Aku tertawa tiap mereka menggoda dan menyebut-nyebut namamu dalam berbagai hal yang aku lakukan. Aku tak menjawab apapun di depan mereka selain mengamini doa itu.
Tapi kemudian aku diam.
Dan setelah itu mataku basah pada bentangan sajadah panjangku.
Aku hanya merasa terlalu bodoh jika masih berani memimpikanmu, padahal sebenarnya aku tak pantas.
No comments:
Post a Comment