Laman

Thursday 26 November 2015

Berhentilah, Untuk Kita.

Selamat pagi yang semakin hari semakin dijauhkan dari saya.
Yang dulu sedekat nadi, sekarang menjadi sejauh matahari.
Yang dulu pernah menghabiskan waktu berjam-jam tertawa bersama.
Kita hanya diberi kesempatan mengenal lewat tulisan, suara, dan pertemuan singkat selama ini.
Kita hanya diberi waktu untuk saling memiliki perasaan tanpa diizinkan menjadi saling memiliki.
Tak banyak yang mengerti kita. Bahwa kita pernah saling mengisi selama empat tahun lebih. Saling menggantungkan harapan meskipun hanya sempat disimpan dalam doa.
Kita pernah berusaha saling memberitahu apa yang di hati, namun sesaat setelahnya kita malah memutuskan untuk saling melepaskan. Iya, setahun yang lalu. Kamu memutuskan untuk mengalah dan melepaskanku untuk orang lain.
Rupanya memang itu akhir yang kamu berikan.
Dan tanpa bertanya mengapa, saya menerimanya. Saya mencoba berbahagia dengan cara yang baru. Cara tanpa kamu. Berbahagia untuk memilih tempat pulang lain yang selama ini selalu saya kembalikan padamu.
Sampai akhirnya, hingga saat ini, saya berhasil berbahagia tanpa kamu.
Ini pertama kalinya saya luar biasa rela jika memang sesepele ini kebersamaan kita. Kamu tau kan? Ada banyak hal yang menjadi lebih baik dibiarkan terkubur daripada membuatnya mekar. Mungkin itu kita. Yang lebih memilih berpisah sebelum sempat mencoba satu kali pun.

Lagi-lagi Ingatan Tentangmu Menjatuhkanku Pada Luka

Hari ini hujan dan aku sedang termangu di sudut meja perpustakaan.
Melihat keluar, air mengalir begitu deras.
Bersamaan dengan itu, mataku juga basah.
Harus bagaimana lagi aku bersikap melawan semua lelah ini.
Sudah sekitar setahun lebih kita memutuskan untuk saling melupakan sebelum sempat saling berjuang. Itu yang kamu minta. Aku langsung mengiyakan tanpa bertanya alasan.
Saat itu aku diam bukan karena sepakat, tapi aku tersentak keras.
Secepat itu kebahagiaan direnggut sesaat setelah ketika kamu bilang hanya satu hatiku yang kamu tuju selama ini--selama bertahun-tahun aku menunggu--tapi akhirnya kamu lepaskan juga.
Saat aku mendukung keputusanmu dan berdoa tentang penggantiku, bukan karena aku sepakat, tapi aku merasa kamu pun memang tak pernah ingin mempertahankanku. Dan itu satu-satunya hal terbaik yang bisa aku lakukan untukmu. Sekalipun ingin sekali aku memohon tetap bertahanlah untukku.

Baik-baiklah

Bismillahirrahmanirrahim.
--------
Hari ini saya mendapatkan satu pelajaran berharga sepulang dari kampus.
Saya menyetir dengan kecepatan sedang, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak paruh baya mengendarai motor dengan membonceng istri anaknya dan menyebrang secara mendadak di perempatan jalan kampung yang sedang ramai-ramainya. Saya yang kaget, seketika menginjak rem dengan cepat. Kebetulan di depan saya ada pengendara motor dan ia juga sama-sama kagetnya. Bapak tadi mengucapkan maaf dengan segera. Mungkin beliau sedang tergesa-gesa. Saya segera membuka kaca mobil dan mempersilahkan beliau untuk lewat. Tapi pengendara motor di depan saya justru emosi dan mengumpat dengan keras. Kemudian ia pergi sambil terus saja memaki bapak tadi.