Laman

Monday 17 October 2011

Diam yang Aku Pilih :)


Dear the man i loved,
When saw his eyes, something different slowly but surely came.
When I heard his voice, something special I told eternally.
When I remembered him, I would pray to the God for always take care you in the perfect ways.
God, do you ever known ? I love him because of you.

       Teringat kembali sekitar 8.760 jam yang lalu. Masa seperempat tahun aku  menjadi siswi baru pada madrasah aliyah di Malang, kota rantau keduaku setelah Solo. Salah satu MAN favorit berasrama. Aku sendiri berasal dari Bontang, Kalimantan Timur. Belum banyak yang aku rasakan dan aku tau saat itu, mengingat aku adalah seorang junior pada semua strata di sekolah. Namun, 8.760 berjalan, aku sudah mampu menuliskan sebuah cerita yang menarik.
Ini kisah yang indah. Saat membiarkan semua mengalir apa adanya ibarat air yang kelak pasti ditemui hulunya. Sederhana dan hanya masalah menunggu jawaban dari tangan Tuhan dengan ketetapan takdirNya. Tentang beberapa perasaan yang akrab menemaniku tiap detiknya. Rasa gemetarku saat bertemu dengannya, hingga kadang aku lebih memilih berjalan berlainan arah dari dia ketimbang aku bertindak bodoh karena salah tingkah. Rasa tersenyum dalam hati ketika mendengar suaranya, melihat dia tertawa, ketika tak sengaja dua pandangan kami saling bertemu, ketika dia memanggil namaku “Rusydina Izzati”, dan berbagai ketika lainnya yang sangat berarti untukku. Terlalu cepat memang jika dijustifikasi bahwa aku sedang dalam diorama roman dengannya. Tapi, 8.760 jam sudah berjalan, Kawan.  Dan aku masih konstan merasakannya. Bahkan tumbuh semakin besar terhadapnya. Apa belum bisa dibilang aku jatuh cinta dengannya?


Sore itu, aku lelah bukan main. Setelah seharian pembantaian pelajaran sekolah, rasanya otakku mendidih. Butuh pendinginan.
 Masih di dalam kelas mengemasi buku-buku pelajaran, aku didatangi seorang kawan kelasku. Ah, hatiku seketika langsung berdesir pelan kala itu. Masalahnya, aku sadar ia bukan sesuatu yang biasa. Aku mencoba tertunduk tenang. Sedikit tersenyum. Meski tipis yang bahkan mungkin tak terlihat olehnya.
“Hei! Pulang sekolah ada acara kamu, Din?” Tanyanya.
“Hmm, kurang tau. Keliatannya aku langsung balik ke asrama. Kenapa?”
“Hehehe, gak apa-apa Din. Cuma aku pengen aja ngobrol sama kamu sore ini. Itupun kalau kamu tak keberatan. Aku minta waktumu sebentar saja. Ada hal penting yang sudah aku persiapkan dari dulu dan mau aku sampaikan.”
Aku tertawa mendengarnya. “Haha, Faiz. Kamu aneh. Kita baru kenal tiga bulan dan kau bilang sudah mempersiapkannya sejak dulu?”
“Iya, De. Aku salah. Maksudku sejak aku pertama kenal kamu.”
Aku terkesiap. Apa? Sejak pertama mengenalku?
“Ada-ada saja Kau, Faiz. Tak masalah, aku mau membagi sedikit waktuku untuk sekedar mendengar kau berbicara. Tapi jangan lama-lama ya!”
Serapi mungkin aku tata posisi dudukku, posisi jilbabku, posisi tanganku, suaraku. Singkatnya, aku tata semua. Aku hanya tak mau terlihat konyol dihadapannya. “Semoga kau bisa maklum, nafasku hampir habis memburu, berkejaran dengan rasa grogi berhadapan denganmu.” Batinku dalam hati.
“Baik, aku sudah siap mendengarkan. Katakan semua yang ingin kau katakan.” Sekilas aku memandangnya. Aku dapati dia melihat keluar kelas sambil memainkan debu yang menempel pada kaca jendela. Aku tersenyum.
“Din, aku minta maaf sebelumnya jika setelah kamu mendengar ini, bakal membuat semua berubah. Persepsimu terhadapku entah semakin membaik atau justru bertambah buruk.”
“Oke aku terima permintaan maafmu, Faiz. Ayo, cepat katakan! Aku sudah sedari tadi  menyabarkan diri untuk menunggumu berbicara. Hahaha.”
“Rusydina Izzati.” Dia menyebut namaku. Berhenti. Kemudian diam kembali.
“Iya, Muhammad Faiz Al-Ayubi.”
“Berat mengucapkannya.” Dia menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau begitu, beri aku sedikit petunjuk singkat saja. Semoga aku bisa menerjemahkan maksudmu dengan tepat.” Aku mulai terlihat tak sabar.
“Aku pinjam buku tulis dan bolpoin. Aku mau menuliskannya saja. Ternyata mentalku masih belum bagus saat benar-benar berhadapan denganmu secara real.”
Aku menyerahkan notes ukuran buku tulis sedang dan bolpoin hitam padanya.
Tak lama, dia menyerahkannya kembali padaku.
Antara percaya atau tidak, aku perlahan membaca dengan hati-hati tulisannya.
“ I think, Love is best explained I feel for you. “
Aku belum tau jawaban apa yang harus aku sampaikan padanya. Dan bagaimana cara aku menyampaikan dengan jawaban yang terbaik. Masya Allah, faiz. Kau membuatku bingung.
Bismillah.
 “Biar waktu yang menjawabnya ya, faiz. Wanita yang baik itu untuk laki-laki yang baik. Sekarang tinggal bagaimana usaha kita untuk meningkatkan kualitas diri. Kudoakan agar kita berdua dijagakan hatinya oleh Allah serta dihimpun dalam mahabbahNya. Aku harap kamu mengerti apa maksudku. Aku mengatakan ini bukan perkara aku tidak memiliki perasaan yang sama atau karena aku sama mencintai, sekali lagi, aku mau cukup Allah saja yang mewakilkan segalanya yang terjadi atas perasaanku. Faiz, terima kasih ya.”
Pernyataannya yang singkat, aku balas dengan lontaran kata-kataku panjang lebar. Dia mengangguk. Kemudian pergi tanpa berbicara apapun. Pergi meninggalkanku.
Aku menitikkan air mata merasakan sebuah perasaan bersalah yang cukup hebat. Iyakah ia sakit mendengar jawabanku tadi? Hatiku mendadak rusuh dibuatnya. Ya Muqalibal Qulub, yang Maha Membolak-balikkan hati manusia, aku butuh penawar saat ini juga. Apa iya aku menghianati diriku sendiri? Sebenarnya, andai kuasa aku jujur padanya tadi. Aku akan mengiyakan perasaanku. Tapi Ya Rabb, kenapa aku justru menafikkan diriku? Sementara, aku berpaling. Aku tau, tangan Tuhan tak akan berhenti menuliskan skenarioNya.
Aku bergegas kembali ke asrama. Semoga semuanya tetap berjalan baik-baik saja.

           
            Itu tadi kisah 5 Oktober 2010 silam. Ternyata doaku dijawab Tuhan. Sampai sekarang aku tak hentinya bersyukur. Waktu menggerakkan jam, hari, dan bulan agar berganti. Hingga tepat setahun, aku masih menjadi salah satu perempuan yang bahagia dengan cara diriku sendiri menyukainya, menyimpan perasaanku dalam-dalam, dan mencoba menyimpannya di jalan yang benar dan sewajarnya. Aku tak pernah menyatakan secara gamblang perasaanku padanya.
            Aku harap dia mau menunggu dalam tenangnya, Mungkin esok aku berkata, atau lusa, atau setahun, dua tahun ke depan. Yang jelas dia satu dan yang pertama akan aku beri tahu jika hatiku sudah menghakimi suatu keyakinan penuh, bahwa aku tak salah memilihnya.
“ Assalamu’alaikum.
Untuk yang terkasih, Rusydina Izzati.
Aku harap kamu tak lupa dan tak akan melupakannya. Setahun yang lalu, aku pernah berdrama di depanmu. Melakukan hal bodoh yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
Masih teringat jelas setiap bagian sore itu.
5 Oktober, seragam putih abu-abumu, sekitar sudut 2cos alfa di dalam kelas adalah satu dari hal terindah dalam hidupku. Jarak Bontang-Probolinggo, sekitar 400 km, tapi waktu itu hanya berjarak 1cm antara aku dan kamu.
Sampai sekarang aku masih belum tau bagaimana cara yang paling indah untuk bilang terima kasih. Sebenarnya, bukan masalah kamu terima aku atau tidak, tapi Insya Allah aku paham maksudmu. Dan aku berjanji dalam diri, aku gak akan pernah melakukan hal bodoh seperti itu lagi, cukup kamu tau aku sayang kamu sudah cukup, Din.
5 Oktober 2010 – 5 Oktober 2011. Sudah tepat satu tahun dari awal aku ketahuan suka kamu. Sudah tepat satu tahun aku mengenalmu, memahamimu, menyayangimu Rusydina Izzati.
Thanks for being a best thing in my life.”
           


Malang, 16 oktober 2011,

( Cerita ini aku dedikasikan pada dua sahabatku,
Rasa takjubku atas cinta kalian yang telah Sang Maha Cinta ciptakan.
Dua insan yang saling menjagakan dan menitipkannya hatinya sampai waktu mengizinkan kalian saling berkata tentang CINTA.
Dan diam yang kalian pilih kini, aku salut.)
           
           

           

No comments:

Post a Comment