Laman

Monday 17 October 2011

Di antara 1000 Aisyah

“ Jika ada satu, dua, tiga, empat, bahkan seribu Aisyah di hatimu,
Jadikan aku yang pertama, kedua, ketiga, keempat dan keseribu Aisyah itu..
Agar tak kau gantikan aku..
Seterusnya..”

****


Awal aku mengenal laki-laki itu, saat kenaikan kelas, Juli 2008. Tanggal, hari tepatnya aku tak tau pasti. Aku hanya menyadari tiba-tiba dia datang. Itu saja. Dia ada di tengah merekahnya jiwa mudaku sebagai seorang gadis. Memberi warna tersendiri dalam romansa cinta masa SMP ku. Tertawa geli mengingat cerita itu, yang mulai berjalan justru saat aku thalabul ‘ilmi di sebuah pondok pesantren. Mungkin hanya aku satu-satunya santriwati yang berhak penuh atas kisah romantis ala pesantren. Ah, kurasa cukup gila, bukan?

****

Ya, itu tadi prologku. Sekarang, aku akan bercerita kepada kalian tentang tanggapan akan kisah yang kerap kali aku ceritakan pada yang lain. Kata banyak orang, alangkah beruntungnya aku. Sebab, kata orang juga, aku telah berhasil mendapat tempat yang istimewa di sisi lelaki itu. Jika benar, aku bahagia.
Tapi teman, sejujurnya aku tak pernah berani bermimpi sejauh apapun, seperti contoh mendapat umpan balik dari cintaku. Mencintainya saja sudah sangat indah. Sosok pria yang tak seberapa tampan, namun karismatik. Kecerdasan dan keshalihannya yang membuat aku terpesona. Apalah perlu tampang dinomorsatukan. Pun Allah bisa saja mencabut kerupawanan itu jika Dia berkehendak. Bagiku cukup agama saja prioritas dalam memilih sang pujaan hati. Materi, tahta, tampang atau yang lainnya menjadi pertimbangan kesekian ratus. Berlebihan memang kalian anggap aku, tapi jika aku melihat dari segi bibit, bebet dan bobot, sudah jauh perasaan ini hilang. Dia? Ekonomi kelas bawah. Apa bisa aku bangga? Namun, siapa menyangka dengan keterbatasan itu, dia mampu menjadi jawara. Sang duta fisika, duta matematika, dan juga yang terpenting ia adalah duta hatiku. Sang jawara sejati. Namanya Galih Putra. Jika suatu saat kalian bertemu dengannya, silahkan buktikan kehebatan dirinya. Aku biasa memanggilnya Kak Galih. Mahasiswa universitas terbaik di kota aku belajar. Fakultas FMIPA, jurusan pendidikan fisika. Program beasiswa.
Hidupku sungguh indah, indah lantas mengenalnya. Lelaki yang mengabdi di pondokku mampu merebut hatiku.

****

Kini giliran kalian aku bawa pada cerita-cerita kami .....

****

Dini hari, jam setengah tiga aku terjaga. Tak bisa lagi menutup mata. Padahal kantuk masih sepenuhnya melekat. Aneh. Aku mengintip dari jendela kamar. Gelap. Sepi. Lampu belum ada yang menyala. Dari sudut manapun. Math’am, kantin, kelas, aula, semuanya gelap. Hanya satu lampu serambi masjid yang terang.
Memanfaatkan, berkhalwat dengan-Nya..
Akhirnya, aku memutuskan untuk berangkat ke masjid. Shalat tahajud. Akhwat yang lain masih terlelap. Mungkin terlalu letih, lembur tugas sekolah yang menggunung semalam.
Betapa hatiku berdesir pelan, saat sayup-sayup aku dengar suara orang membaca al-qur’an. Aku mengenal akrab suara itu. Suara yang mencipta molekul-molekul kedamaian. Berat, mendayu, lemas tapi bernada. Aku beranikan masuk masjid. Kosong. Ah, salah dengar berarti. Aku memulai shalat.

****

“Ukhti, mau jama’ah?” Tanyanya saat aku salam pada dua rakaat tahajudku.
Degg.. Masya Allah.
“Na’am, Kak. Silahkan!” Jawabku berusaha senyum meski terpaksa. Tak dapat ku pungkiri. Aku grogi, gemetar. Keringat dingin.
Dia memulai salat. Entah karena bahagia atau apa, air mataku meleleh hangat. Masalahnya dia adalah dia yang aku maksud, Galih. Dia adalah dia yang aku tuju, Galih.
“Allah, sungguh terimakasih karuniaMu ini. Jadikan dia dihadapanku adalah imam hamba kelak.”
Dalam sujud terakhir, dia melamakannya. Aku benar-benar menangis. Lahir kembali sebuah anak dalam pikirku. Harapan cinta itu penuh tersedia, namun biarkan hanya angan yang menyatakan mimpiku padanya. Cukup itu. Menulis dalam hati roman pada dini hari.

“Teruntuk dia yang sedang menyesaki”
Semoga selalu dalam naungan Mahabbah-Nya..
Ya Allah, ya Rabbi hamba selipkan doa di sela-sela sujud sepertigaku kepada-Mu..
Hamba tau Engkau Maha segalanya, Maha mengetahui, lebih tau dari apa yang tidak hamba tau, lebih tau dari semua yang ada di belahan bumi ini dan setiap naunganMu..
Mengetahui segala yang kecil dan tersebar, tahu akan segala serpihNya...
Engkau jualah sang Empunya cinta yang mengaliri nadi ini..
Ya Allah, ya Tuhan hamba..
Jika saat ini, yang menjadi imam di depan hamba, kelak nanti akan menjadi imam hamba dalam menjalani kehidupan, hamba mohon ya Rabb, dekatkan kami, jagalah kesucian hati dan jiwa kami, jagalah dari segala fitnah.
Dan jika saat ini, seseorang yang menjadi imam di depan hamba, kelak tidak Engkau perkenankan dia menjadi imam dalam menjalani kehidupan ini, tolong ya Rabb...
Jauhkan kami, berikan petunjukMu, dan hamba yakin dengan kisah yang telah engkau goreskan pada hidup hamba dan hidupnya meski kami belum menapakinya, dengan setiap sosok yang terbaik bagi masing-masing diantara kami titipan cinta dari-Mu..
Ya Allah ya Rabbi..
Pertemukan kami pada satu sujud, sujud yang membawa dalamnya qalbu, menelaah indahnya malam dan jernihnya angan. Sujud yang membawa air mata ini ikhlas menetes, sujud yang Engkau Ridhoi..
Ya Allah berilah perlindungan kepada kami, jagalah kesucian diantara kami..
Jadikan ia yang terbaik, ya Rabb..
Jadikan ia menaruh hatinya pada-Mu lebih dari kepada hamba ya Allah..
Ya Allah, terimakasih telah Engkau hadirkan sosoknya di kehidupanku, telah Engkau ijinkan hamba melihat bola matanya, merasakan nafasnya, mendengar desahnya dan hafal tentang adanya yang tak bisa hamba tuliskan dengan hatiku yang sederhana ini, dan tak pula terindahkan oleh sebuah lukisan.
Terimakasih pula telah Engkau hadirkan hari itu dalam hidup hamba, semoga tiada terulang lagi di kesempatan yang berbeda, jadikan itu suatu sejarah yang terbingkai indah, yang akan selalu melekat dalam qalbu..
Dan izinkan waktu itu kembali pada saat yang tepat, pada detik yang hanya untuk hamba dan dia, agar kelak dia kan tetap menjadi kekasih-Mu. Pada saat waktu Engkau izinkan hamba menjadi kekasihnya, dan membuat hamba menjadi kekasihMu..”
****

“ Ukhti, tafadhdhal jika mau kembali ke kamar. Terima kasih mau menjadi makmum yang baik.”
Aku pun bergegas membangunkan teman-teman.

Cerita tahajud usai...


****

Awal hari dimulai dengan senyum. Alhamdulillah.
Selanjutnya, semua berjalan seperti biasa. Namun berbeda dengan hatiku yang tak biasa menangggapinya, aku semakin yakin. Aku mencintainya. Dan suatu waktu,
“ Assalamu’alaikum, Kak.”
“ Wa’alaikumussalam. Ada bisa dibantu?”
“Antum ada buku sastra? Semacam novel atau kumpulan cerpen?”
“Afwan jiddan, Ukhti. Saya bukan orang bahasa.”
Seketika aku membodoh-bodohkan diri. Untuk apa meminjam kepadanya. Jelaslah tak ada. Dasar. Otak kolot. Orang matematis tulen mana ada pikiran mengoleksi novel. Yang ada kumpulan rumus kaedah fisika atau matematika. Masa’ iya mau aku resensi.
“Oh iya, jazakumullah khair. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam, ya Ukhti.”
Aku pun pergi kembali ke asrama. Tak enak apabila ada asatidz atau ustadzat yang melihat kami. Namun, tiba-tiba...
“Ukhti Aisy. Saya ada usulan karya sastra.”
Wajahku sumringah.
“Apa itu, Kak?”
“Al-qur’an, Ukhti. Bukankah Al-qur’an merupakan Maha Cipta sastra yang begitu fenomenal? Sungguh akan mendapatkan apresiasi tinggi jika Ukhti mengambilnya sebagai sumber.”
Aku terkejut bukan main. “Allah, dengarkah Engkau kata dia barusan? Dalamnya dia mengingatMu. Bagaimana dia meletakkanMu pada tahta tak ternilai? Aku mencintainya karenaMu, Rabbul Izzati.”
“ Oh, baik. Akan saya coba, Kak.”

****

Itu tadi sebagian kisah klasikku.
Sederhana.
Tapi membuat hidup menjadi bergairah di dalam penjara suci.
Jika kalian ingin kisah yang lain, tanyakan saja pada dia, pasti memori itu masih tersimpan erat padanya.
Aku capai menuliskan secara rincinya.

****

Aku dan dia sudah biasa terdengar. Kadang mereka atau kawanku menggojlokiku hingga bersemu merah kedua pipi ini. Mereka tak akan berhenti berulah hingga aku marah. Aku dihabiskan di depan Kak Galih.
Sudah kucoba menetralisir malu, namun aku tak bisa. Bahagia tiada tara.
Dunia. Mengapa tak bisa kau diam menutup semua. Mengapa rasa ini seolah kau umumkan pada mereka? Mereka sedemikian tahu aku mencintainya. Mereka tahu aku mengharapkannya. Aku malu, dunia!

****

Tahun 2010. Aku mulai sibuk mempersiapkan UAN. Mengesampingkan semua masalah. Termasuk cinta. Aku menjadi jarang keluar kamar. Hanya belajar dan belajar. Sejenak melupakannya. Pun dia juga sibuk mengejar beasiswa kuliah. Tapi, aku tetap berdoa untuknya.
Dan akhirnya kuraih sudah kesuksesan UAN 2010. Peringkat tiga seangkatan.
Tak buruk. Alhamdulillah.

****

Hari-hari menunggu ijazah turun, kami, aku dan teman-teman berusaha mengisinya dengan pergi ke tempat-tempat wisata. Yang tak resmi, merencanakan dadakan dan langsung diwujudkan. Mendaki, safari camp, bakar jagung, nonton film, dan semua kegiatan menumpahkan hasrat yang kami pendam selama berjuang keras hadapi UAN.

****

Kalian aku suguhkan klimaks dari cerpenku...
Perpisahan itu terjadi. Memisahkan hati yang terpaut selama tiga tahun kali dua puluh empat jam. Ah, Allah jangan buat aku menangisi ini. Redamkan rasa takutku kehilangan dia. Luruhkan sakitku saat mendapati dia berubah nantinya tatkala aku pergi. Aku belum siap meninggalkan masa itu. Aku remuk.
Kuberanikan diri datang di hadapannya. Dengan mata sembab, aku pamit pada cintaku. Aku berjuang pada medan lain, Ya Habib. Bukan di pesantren ini lagi.
Kapan kita bisa bersama?
“Kak, aku pulang. Maaf segala salahku.” masih menangis.
Dia menatapku lama. Aku tahu, ada genangan air mata di pelupuknya. Mengambang, ingin jatuh, tapi tertahan. Terlalu gengsi lelaki itu menguraikannya di depanku. Dia berpaling sedetik. Menoleh lagi. “Selamat berjuang, Ukhti. Selalu jaga hati. Jangan menangis wahai Ukhti fillah. Ini bukan akhir dari segalanya. Percaya pada takdir-Nya. Bahwa semua akan indah pada waktunya.”
Tak sanggup dilanjutkan, akhir kata dia menangis. Menitikkan air mata meski hanya sebulir, di hadapku.
“Allah, sebegitu berhargakah aku baginya?”

***

“ Cinta itu kini saling dijaga...
Jarak memang berpisah, namun episode itu tak pernah berakhir...
Tak pernah, dan tak akan...
Allah menjadi saksi cinta ini...
Cinta yang abadi...
Meski tak terungkap, biar berlabuh di hati saja...
Sampai cinta mengutus kami untuk berkata...
Duhai belahan jiwa yang tak pernah ku ragu hatinya...
Dengarkan aku...
Aku mencintaimu karena Allah...
Aku mencintaimu beserta nur Allah yang meliputi dermaga buihNya...
Dan izinkan nanti aku memintamu bersama mahabbahNya..”

Big Love,
AisyaDz :)

No comments:

Post a Comment