Laman

Thursday 26 November 2015

Baik-baiklah

Bismillahirrahmanirrahim.
--------
Hari ini saya mendapatkan satu pelajaran berharga sepulang dari kampus.
Saya menyetir dengan kecepatan sedang, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak paruh baya mengendarai motor dengan membonceng istri anaknya dan menyebrang secara mendadak di perempatan jalan kampung yang sedang ramai-ramainya. Saya yang kaget, seketika menginjak rem dengan cepat. Kebetulan di depan saya ada pengendara motor dan ia juga sama-sama kagetnya. Bapak tadi mengucapkan maaf dengan segera. Mungkin beliau sedang tergesa-gesa. Saya segera membuka kaca mobil dan mempersilahkan beliau untuk lewat. Tapi pengendara motor di depan saya justru emosi dan mengumpat dengan keras. Kemudian ia pergi sambil terus saja memaki bapak tadi.
Disitu membuat saya menjadi sangat nelangsa. Padahal bapak tadi sudah meminta maaf karena mungkin ada urusan mendesak yang harus segera diselesaikan. Pun juga tidak ada insiden sampai tabrakan. Saya juga bersyukur di jalan yang seramai itu, kondisi masih aman. Tidak ada yang dirugikan dari kejadian itu, hanya saja jika karena kaget sampai mengumpat orang lain saya rasa justru dia lah yang keterlaluan.
Bapak paruh baya tadi memang keliru dan beliau segera mengakui dan memohon maaf. Namun dengan mengumpat balik sebagai jawaban dari permohonan maafnya, saya rasa itu tidak menunjukkan etika yang baik.

Yang ingin saya sampaikan di sini, selain sikap saling menghormati antar pengguna jalan, ada hal lain yang lebih menyentuh hati saya. Yaitu tentang reaksi mengumpat karena kesalahan orang lain. Apapun kesalahannya.

Kita tidak pernah tau dengan siapa kita berhadapan. Ketika tindakan yang kita ambil secara langsung pada kejadian yang tidak mengenakkan contohnya di jalan raya adalah dengan mengumpat orang lain, bisa saja dia adalah orang penting. Setidaknya jika ia bukan pejabat, barangkali ia adalah seorang bapak yang menjadi panutan dan sangat disayangi keluarganya. Barangkali orang yang kita umpat itu adalah seorang anak dari orang tua yang berusaha keras untuk membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Barangkali orang yang kita umpat itu adalah seorang guru yang berangkat ke sekolah dan sedang ditunggu murid-muridnya. Atau bisa jadi ia seorang ibu yang sedang terburu-buru harus segera datang ke rumah sakit karena putranya sedang sekarat. Betapa mudah sekali kita melontarkan kata yang kasar tanpa kita tau seberapa dalam itu akan menyayat orang lain. Apa kita lupa saat makian itu akan menjadi doa yang buruk? Keselamatan kita dalam berkendara bukan hanya mutlak ditentukan dari sebarapa waspadanya kita selama menyetir. Bisa jadi kita selamat sampai tujuan karena doa orang lain. Doa pengamen yang kita beri uang receh lima ratusan, doa orang yang sedang tergesa-gesa di jalan kemudian kita mempersilahkan mereka untuk jalan terlebih dahulu, atau bahkan doa bapak penyebrang jalan yang kita beri senyum dan ucapan terima kasih karena membantu kita. Kita tidak tau darimana arahnya doa kebaikan dan keselamatan yang datang untuk kita. Begitu juga sebaliknya. Kita tidak pernah tau musibah yang datang itu memang Allah berikan sebagai ujian atau mungkin doa dari orang lain yang pernah kita sakiti dan kita sangka itu adalah perkara sepele. Jadi berhati-hatilah dalam mengolah emosi.
Entahlah saya selalu berpikiran sepanjang itu sehingga kadang sangat takut menyakiti atau berbuat jahat pada orang lain.

Baik-baiklah pada siapapun sesalah apapun mereka. Bahkan, Rasulullah selalu berbesar hati memaafkan orang lain yang menghina, melempari kotoran unta, pun pada yang hampir pernah membunuh beliau. Orang yang ternyata di kemudian hari menjadi pembesar dan pejuang Agama Islam, yaitu Umar bin Khattab. Seorang kafir yang hatinya dibalik dipenuhkan kecintaannya pada Islam.

Terimalah, sabarlah, dan maafkanlah. Bisa jadi nanti, itu menjadi simpanan amal untuk rejeki atau hitungan pahala tersendiri di sisi Allah.

Semoga bisa menjadi renungan untuk diri kita sendiri.
Selamat senja :)

No comments:

Post a Comment